pikniklagi

Saturday, October 12, 2019

Perbedaan Hibah, Waris, Wasiat, dan Hibah Wasiat

Istilah hibah, waris, wasiat, dan hibah wasiat merupakan istilah hukum yang mungkin sering didengar, tetapi juga sering diartikan sama oleh sebagian orang. Padahal, keempat istilah ini mempunyai pengertian yang berbeda meskipun berkaitan satu sama lain.


Hibah

Menurut Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Dari penjelasan pasal tersebut, ada empat unsur dari ‘hibah’, yaitu:

perjanjian: hibah termasuk perjanjian sepihak, yaitu perjanjian yang membebankan prestasi (hak & kewajiban) hanya pada satu pihak saja, yaitu penerima hibah. Perjanjian hibah bisa dilakukan secara lisan atau tertulis (Pasal 1687 KUHPerdata), kecuali untuk tanah dan bangunan harus dibuat secara tertulis menggunakan Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT (Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

di waktu hidupnya: pemberian hibah dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup.

dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali: pemberian hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali atas syarat-syarat yang diatur pada pasal 1672 KUHPerdata dan 1688 KUHPerdata.

menyerahkan suatu barang: Barang yang dijadikan objek hibah bisa dalam bentuk barang bergerak (kendaraan bermotor, perhiasan, uang), bisa juga dalam bentuk barang tidak bergerak (tanah dan bangunan).

Dengan demikian, hibah adalah pemberian suatu barang dari seseorang (pemberi hibah) kepada orang lain pada saat masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup pula.


Waris

Waris atau pewarisan ialah peralihan harta benda milik pewaris kepada ahli waris. Pewarisan di Indonesia bersifat pluralisme karena terdapat tiga sistem hukum waris yang masih digunakan di Indonesia sampai saat ini, yaitu hukum waris Islam, hukum waris adat, dan hukum waris barat. Pemberian harta waris dan pelaksanaannya dilakukan pada waktu pewaris telah meninggal dunia.

Pewarisan harus mempunyai 3 unsur, yaitu:

Pewaris: orang yang telah meninggal dunia atau orang yang diduga meninggal dunia dan mewariskan harta warisannya.

Ahli waris: orang yang berhak atas harta warisan. Ahli waris haruslah masih hidup.

Harta warisan: keseluruhan harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris, baik piutang-piutang maupun utang-utang.

Terdapat dua cara untuk mendapat suatu warisan yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu sebagai berikut.

Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang) dalam Pasal 832 KUHPerdata.

Menurut ketentuan undang-undang ini, yang berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama. Artinya, berlakunya hukum waris sudah ditentukan oleh undang-undang, yaitu KUHPerdata.

Secara testamentair (ahli waris karena wasiat atau testamendalam Pasal 875 KUHPerdata.

Pewaris dalam hal ini membuat wasiat untuk para ahli warisnya yang ditunjukan dalam bentuk surat wasiat atau testamen.


Wasiat

Wasiat adalah salah satu cara pewarisan. Menurut Pasal 875 KUHPerdata, wasiat adalah akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut kembali. Pemberian wasiat diberikan pada saat pemberi wasiat masih hidup, tetapi pelaksanaannya dilakukan pada saat pemberi wasiat meninggal dunia.

Pasal 874 KUHPerdata menyatakan bahwa segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah. Ketetapan yang sah tersebut ialah surat wasiat. Artinya, jika ada surat wasiat yang sah, surat wasiat harus dijalankan oleh para ahli waris. Sebaliknya, apabila tidak ada surat wasiat, semua harta peninggalan pewaris adalah milik ahli waris.

Ada dua jenis wasiat, yaitu wasiat pengangkatan waris (erfstelling) dan hibah wasiat (legaat).

Wasiat Pengangkatan Waris (erfstelling)

Pemberi wasiat memberikan harta kekayaannya dalam bentuk bagian (selurhnya, setengah, sepertiga). Pemberi wasiat tidak menyebutkan secara spesifik benda atau barang apa yang diberikannya kepada penerima wasiat. (Pasal 954 KUHPerdata)

Hibah Wasiat (legaat)

Pemberi wasiat memberikan beberapa barang-barangnya secara spesifik dari suatu jenis tertentu kepada pihak tertentu. (Pasal 957 KUHPerdata).

Hukum perdata tidak menentukan apakah surat wasiat harus dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan atau akta otentik. Meski keduanya diperkenankan, pada praktiknya surat wasiat biasa dibuat dalam bentuk akta otentik oleh Notaris. Hal ini penting agar surat wasiat yang dibuat terdaftar pada Daftar Pusat Wasiat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan diakui keberadaannya pada saat Surat Keterangan Waris dibuat.


Hibah Wasiat

Banyak orang yang menganggap hibah wasiat dan wasiat adalah dua hal yang sama, padahal keduanya berbeda. Hibah wasiat adalah bagian dari wasiat, tetapi bukan wasiat seutuhnya karena. wasiat sendiri terdiri dari dua jenis yaitu wasiat pengangkatan waris dan hibah wasiat.

Menurut pasal 957 KUHPerdata, hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya, segala barang bergerak, barang tidak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya. Artinya, dalam hibah wasiat Pemberi Hibah Wasiat menjelaskan secara spesifik barang apa yang mau diwasiatkan. Hibah wasiat dibuat pada saat Pemberi Hibah Wasiat masih hidup, tetapi pelaksanaannya dilakukan pada saat Pemberi Hibah Wasiat telah meninggal dunia.

No comments:

Post a Comment

Kost-Pontianak

Terima Kost Khusus perorangan Idr 500rb/bln.  Tidak menerima pasangan/ berkeluarga.   Jalan Parit H. Husin 1, Gang. Keluarga no. 7/...