pikniklagi

Saturday, October 19, 2019

Ulul Arhaam/kerabat

Ulul Arhaam/kerabat, yaitu kerabat mayit yang ada kaitan rahim – dan tidak termasuk Ash-habul Furuudh dan juga bukan ‘Ashabah -, seperti paman dan bibi dari fihak ibu, bibi dari fihak ayah.

Apabila amayit tidak mempunyai kerabat sebagai Ashaabul Furuudh maupun ‘Ashabah, maka para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak mendapatkan waris, berdasarkan firman Allah :
و أولوا الأرحام بعضهم أولي ببعض
Artinya : “ Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak ( waris mewarisi ) “ ( QS. 33 : 6 )
Dan sebagaimana sabda Rasulullah saw :
الخال وارث من لا وارث له
Artinya : “ Paman dari fihak ibu adalah pewaris bagi yang tidak mempunyai ahli waris :” ( HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai, Ibnu Majah , Hakim dan Ibnu Hibban )
5. Dikembalikan/ditambahkan kepada bagian suami istri
6. ‘Ashabah karena sebab, ada beberapa bentuk yang disebut dengan ‘Ashabah karena sebab :
1. Orang yang memerdekakan budak, tetapi untuk bagian ini tidak ada lagi pada masa kini
2. Orang yang diberikan wasiat lebih dari sepertiga harta warisan ( selain ahli waris )
3. Baitul Maal, Rasulullah saw bersabda :
الله و رسوله مولي من لا مولي له
Artinya : “ Allah dan Rasul-Nya merupakan maula bagi yang tidak mempunyai maula “, maksudnya ialah pewaris bagi yang tidak mempunyai ahli waris ( HR. Ahmad dan yang lainnya).

Ash-habul Furuudh

Dikembalikan ke Ash-habul Furuudh/penambahan jatah bagi Ash-habul Furudh ( selain suami istri )

Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada Ash-haabul Furuudh dan ‘Ashabah diatas masih juga tersisa, maka sisa tersebut diberikan/ditambahkan kepada Ash-habul Furuudh selain suami istri ( sesuai dengan bagian masing-masing ), hal tersebut dikarenakan hak waris suami istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan hak waris bagi Ash-habul Furuudh selain suami istri disebabkan karena nasab, yang karenanya lebih berhak dibandingkan yang lainnya.

Ashabah An-Nasabiyah,

Ashabah An-Nasabiyah, setelah ash-haabul furuudh, golongan inilah yang mendapat giliran ke dua untuk mendapatkan bagian dari harta warisan, yaitu kerabat yang mempunyai hubungan nasab dengan mayit yang berhak mengambil seluruh harta waris bila sendiri, dan berhak mendapatkan sisa harta waris setelah dibagi kepada Ash-habul Furuudh.
Dan mereka ada 3 kelompok :
1. ‘Ashabah Bin-nafsi ( laki-laki ), mereka ialah :
1) Pihak Anak, yaitu Anak kebawah
2) Pihak Bapak, yaitu Bapak keatas
3) Pihak Saudara, yaitu Sudara kandung, Saudara sebapak, Anak paman kandung, Anak paman sebapak kebawah
4) Pihak Paman, yaitu Paman kandung, Paman sebapak, Anak paman kandung, Anak paman sebapak kebawah
2. ‘Ashabah Bil Ghoiri ( Perempuan ), mereka ialah :
1) Anak putri, apabila mempunyai saudara laki-laki
2) Putri anak laki-laki, apabila mempunyai saudara laki-laki
3) Saudari kandung, apabila mempunyai saudara laki-laki
4) Saudari sebapak, apabila mempunyai saudara laki-laki
3 ‘Ashabah Ma’al Ghoiri, yaitu Saudari-saudari kandung atau sebapak, apabila pewaris mayit mempunyai putri dan tidak mempunyai putra

Ash-habul Furudh

Ash-habul Furudh, golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan sebelum yang lainnya, yaitu mereka yang ditetapkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ mendapatkan bagian dari harta waris dengan jumlah tertentu. Mereka ada dua belas orang ; 4 laki-laki dan 8 perempuan, yaitu :

1. Bapak, Kakek keatas, Suami dan Saudara laki-laki seibu
2. Istri, Anak perempuan, Saudari kandung, Saudari seayah, Saudari seibu, Putri anak laki-laki, Ibu dan Nenek keatas
Ahli Waris Ashabul furudh
Adalah ahli waris yang ditetapkan ahli syara’ memperoleh bagian tertentu dari al-furudhul. Muqaddaroh dalam pembagian harta peninggalan.
a.Anak perempuan
– 1/2 bila hanya seorang
– 2/3 bila ada 2 atau lebih
– sisa, berasama anak laki-laki dengan ketentuan menerima separuh bagian anak laki-laki.
b.Ayah
– sisa, bila tidak ada far’u (anak atau cucu)
– 1/6 bila bersama anak laki-laki
– 1/6 tambah sisa, jika bersama anak perempuan saja
– 2/3 sisa dalam masalah Garrawaian (ahli warisnya terdiri dari suami/istri, ibu dan ayah)

c.Ibu
– 1/6 bila ada anak 2 saudara atau lebih
– 1/3 bila tidak ada anak atau saudara dua dan atau bersama satu orang saudara saja.
– 1/3 sisa dalam, masalah garrawaian
d.Saudara perempuan seibu
– 1/6 satu orang tidak bersama anak dan ayah
– 1/3 dua orang atau lebih tidak bersama anak dan ayah, saudara-saudara seibu.
e.Saudara perempuan sekandung
– 1/2 satu orang, tidak ada anak dan ayah
– 2/3 dua orang atau lebih, tidak ada anak maupun ayah
– sisa, bersama saudara laki-laki sekandung, dengan ketentuan ia menerima separuh bagian saudara laki-laki
– sisa, karena ada anak atau cucu perempuan garis laki-laki.
f.Saudara perempuan seayah.
– satu orang, tidak ada anak dan ayah –
– 2/3 dua atau lebih, tidak ada anak dan ayah
– sisa, bersama saudara laki-laki seayah
– 1/6 bersama atau saudara perempuan sekandung
– sisa, karena ada anak cucu perempuan garis laki-laki.
g.Kakek
– 1/6 bila bersama anak atau cucu
– sisa, tidak ada anak atau cucu
– 1/6 + sisa, hanya bersama anak atau cucu perempuan.
– 1/3 dalam keadaan bersama saudara sekandung atau seayah
– 1/6, 1/3, sisa, bersama saudara-saudara sekandung seayah dan ahli waris lain dengan dengan ketentuan memilih yang menguntungkan.

– Contoh penentuan warisan :
Misal: Zainab meninggal dunia dengan meninggalkan suami, ibu, ayah, seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, harta peninggalanya sebesar Rp. 48.000.000. berapa bagian masing-masing ?
Jawab: 

Suami bagianya 1/4 = 6/24
Ibu bagianya 1/6 = 4/24
Ayah bagianya 1/6 = 4/24
Anak ashobah 24/24 = 4/24
Pembagian suami 6/24 x Rp. 48.000.000 : Rp. 12.000.000
Istri 4/24 x Rp. 48.000.000 : Rp. 8.000.000
Ayah 4/24 x Rp. 48.000.000 : Rp. 8.000.000
Pembagian untuk ashobah 48.000.000 – 28.000.000 = 20.000.000
Anak laki-laki mendapat duakali bagian anakperempuan, mereka semua ada empat bagian.
Jadi, anak laki-laki 2/4 x 20.000.000 = 10.000.000 .
Masing-masing anak Pr. 1/4 x 20.000.000 = 5.000.000

3 Golongan menurut ajaran kewarisan Islam

A. Dzul faraa-idh, adalah ahli waris yang mendapat bagian tertentu jumlahnya, meliputi : anak perempuan yang tidak didampingi anak laki-laki, ibu, bapak, ada anak, duda, janda, saudara laki-laki dalam kalabah, saudara perempuan dalam kalalah, serta saudara laki-laki dan perempuan dalam kalalah.


B. Dzul Qarabat, adalah ahli waris yang mendapat bagian warisan yang tidak tentu jumlahnya, atau disebut juga mendapat bagian sisa atau ‘ashabah. Yaitu meliputi, anak laki-laki, anak perempuan yang didampingi anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki dalam hal kalalah, saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki dalam hal kalalah.


C. Dzul Arfaam adalah ahli waris yang mendapat warisan jika dzul faraa’idh dan dzul Qarabat tidak ada.
Warisan diberikan kepada ahli waris berdasarkan urutan tingkatannya ( kepada tingkat pertama , kedua dan berikutnya ), bila tingkat pertama tidak ada , baru kepada tingkat yang berikutnya

TAHAP YUDISIAL (Pemeriksaan Perkara Perdata di PN)

1. Sidang hari 1, Mediasi
Berhasil > Akta Perdamaian oleh Hakim.
2. Pembacaan Gugatan Oleh Penggugat.
> Eksepsi Jawaban Oleh Tergugat.
3. Replik Oleh Peggugat.
4. Duplik oleh Tergugat.
5. Pembuktian oleh Penggugat dan Tergugat.
6. Kesimpulan Oleh Penggugat dan Tergugat. 
7. Putusan Hakim.
8. Upaya Hukum

Contoh Posita Gugatan Wanprestasi

Contoh Posita gugatan wanprestasi dalam membayar uang pembelian.
Adapun yg menjadi dasar diajukannya gugatan ini adalah
1. Bhw antara P dan T ada perjanjian jual-b tertgl mengenai...
2 Bhw dim perjanjian tsb diatur harga, dan cara pembayaran;
3. Bhw angsuran tdk dibayar sejak... shg P dirugikan sebesar,...
4 Bhw P dirugikan berupa bunga sebesar ... x angsuran x ... %
5 Bhw P dgn itikad baik tih mengingatkan T agar membayar utangnya tp hingga saat ini blm dibayar.
6 Bhw ada sakwa sangka T akan mengalihkan harta berupa ... senilai ..

Saturday, October 12, 2019

Perbedaan Hibah, Waris, Wasiat, dan Hibah Wasiat

Istilah hibah, waris, wasiat, dan hibah wasiat merupakan istilah hukum yang mungkin sering didengar, tetapi juga sering diartikan sama oleh sebagian orang. Padahal, keempat istilah ini mempunyai pengertian yang berbeda meskipun berkaitan satu sama lain.


Hibah

Menurut Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), penghibahan adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Dari penjelasan pasal tersebut, ada empat unsur dari ‘hibah’, yaitu:

perjanjian: hibah termasuk perjanjian sepihak, yaitu perjanjian yang membebankan prestasi (hak & kewajiban) hanya pada satu pihak saja, yaitu penerima hibah. Perjanjian hibah bisa dilakukan secara lisan atau tertulis (Pasal 1687 KUHPerdata), kecuali untuk tanah dan bangunan harus dibuat secara tertulis menggunakan Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT (Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

di waktu hidupnya: pemberian hibah dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup.

dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali: pemberian hibah tidak dapat ditarik kembali kecuali atas syarat-syarat yang diatur pada pasal 1672 KUHPerdata dan 1688 KUHPerdata.

menyerahkan suatu barang: Barang yang dijadikan objek hibah bisa dalam bentuk barang bergerak (kendaraan bermotor, perhiasan, uang), bisa juga dalam bentuk barang tidak bergerak (tanah dan bangunan).

Dengan demikian, hibah adalah pemberian suatu barang dari seseorang (pemberi hibah) kepada orang lain pada saat masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada saat pemberi hibah masih hidup pula.


Waris

Waris atau pewarisan ialah peralihan harta benda milik pewaris kepada ahli waris. Pewarisan di Indonesia bersifat pluralisme karena terdapat tiga sistem hukum waris yang masih digunakan di Indonesia sampai saat ini, yaitu hukum waris Islam, hukum waris adat, dan hukum waris barat. Pemberian harta waris dan pelaksanaannya dilakukan pada waktu pewaris telah meninggal dunia.

Pewarisan harus mempunyai 3 unsur, yaitu:

Pewaris: orang yang telah meninggal dunia atau orang yang diduga meninggal dunia dan mewariskan harta warisannya.

Ahli waris: orang yang berhak atas harta warisan. Ahli waris haruslah masih hidup.

Harta warisan: keseluruhan harta benda beserta hak dan kewajiban pewaris, baik piutang-piutang maupun utang-utang.

Terdapat dua cara untuk mendapat suatu warisan yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu sebagai berikut.

Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang) dalam Pasal 832 KUHPerdata.

Menurut ketentuan undang-undang ini, yang berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami atau istri yang hidup terlama. Artinya, berlakunya hukum waris sudah ditentukan oleh undang-undang, yaitu KUHPerdata.

Secara testamentair (ahli waris karena wasiat atau testamendalam Pasal 875 KUHPerdata.

Pewaris dalam hal ini membuat wasiat untuk para ahli warisnya yang ditunjukan dalam bentuk surat wasiat atau testamen.


Wasiat

Wasiat adalah salah satu cara pewarisan. Menurut Pasal 875 KUHPerdata, wasiat adalah akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut kembali. Pemberian wasiat diberikan pada saat pemberi wasiat masih hidup, tetapi pelaksanaannya dilakukan pada saat pemberi wasiat meninggal dunia.

Pasal 874 KUHPerdata menyatakan bahwa segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah. Ketetapan yang sah tersebut ialah surat wasiat. Artinya, jika ada surat wasiat yang sah, surat wasiat harus dijalankan oleh para ahli waris. Sebaliknya, apabila tidak ada surat wasiat, semua harta peninggalan pewaris adalah milik ahli waris.

Ada dua jenis wasiat, yaitu wasiat pengangkatan waris (erfstelling) dan hibah wasiat (legaat).

Wasiat Pengangkatan Waris (erfstelling)

Pemberi wasiat memberikan harta kekayaannya dalam bentuk bagian (selurhnya, setengah, sepertiga). Pemberi wasiat tidak menyebutkan secara spesifik benda atau barang apa yang diberikannya kepada penerima wasiat. (Pasal 954 KUHPerdata)

Hibah Wasiat (legaat)

Pemberi wasiat memberikan beberapa barang-barangnya secara spesifik dari suatu jenis tertentu kepada pihak tertentu. (Pasal 957 KUHPerdata).

Hukum perdata tidak menentukan apakah surat wasiat harus dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan atau akta otentik. Meski keduanya diperkenankan, pada praktiknya surat wasiat biasa dibuat dalam bentuk akta otentik oleh Notaris. Hal ini penting agar surat wasiat yang dibuat terdaftar pada Daftar Pusat Wasiat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI dan diakui keberadaannya pada saat Surat Keterangan Waris dibuat.


Hibah Wasiat

Banyak orang yang menganggap hibah wasiat dan wasiat adalah dua hal yang sama, padahal keduanya berbeda. Hibah wasiat adalah bagian dari wasiat, tetapi bukan wasiat seutuhnya karena. wasiat sendiri terdiri dari dua jenis yaitu wasiat pengangkatan waris dan hibah wasiat.

Menurut pasal 957 KUHPerdata, hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana si yang mewariskan kepada seorang atau lebih memberikan beberapa barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti misalnya, segala barang bergerak, barang tidak bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya. Artinya, dalam hibah wasiat Pemberi Hibah Wasiat menjelaskan secara spesifik barang apa yang mau diwasiatkan. Hibah wasiat dibuat pada saat Pemberi Hibah Wasiat masih hidup, tetapi pelaksanaannya dilakukan pada saat Pemberi Hibah Wasiat telah meninggal dunia.

Friday, October 11, 2019

Unsur surat gugatan perdata

Identitas para pihak (Penggugat/Tergugat) atau persona standi in judicio, terdiri dari nama suami dan istri (beserta bin/binti), umur, tempat tinggal. Identitas para pihak ini juga disertai dengan informasi tentang agama, pekerjaan dan status kewarganegaraan


Posita (dasar atau alasan gugat), disebut juga Fundamentum Petendi, berisi keterangan berupa kronologis (urutan peristiwa) sejak mulai perkawinan isteri dengan suami isteri dilangsungkan, peristiwa hukum yang ada (misalnya: lahirnya anak-anak), hingga munculnya ketidakcocokan antara isteri dan suami yang mendorong terjadinya perceraian, dengan alasan-alasan yang diajukan dan uraiannya yang kemudian menjadi dasar tuntutan (petitum).


Petitum (tuntutan hukum), yaitu tuntutan yang diminta oleh Istri sebagai Penggugat agar dikabulkan oleh hakim.


PERCERAIAN

I.     Sebab-sebab Perceraian

Pada dasarnya suatu perkawinan itu dapat putus dikarenakan kematian atau perceraian. Dalam masyarakat adat yang bersifat bilateral, apabila suami wafat, maka isteri yang putus perkawinannya dapat kembali kekerabat asalnya. Tetapi dikalangan masyarakat patrilinial dalam bentuk perkawinan yang jujur, apabila suami wafat, isteri tetap di rumah kerabat suami, oleh karena kedudukan sitri bukan lagi warga adat dari kekerabatan asalnya, tetapi telah menjadi warga adat kekerabatan suami.

Selain kematian, sebab-sebab perceraian diantara lain :

1.      Perzinahan

2.      Tidak memberi nafkah

3.      Penganiyaan

4.      Catat tubuh/kesehatan

5.      Perselisihan

II.  Tata cara perceraian

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 40 perceraian merupakan gugatan yang diajukan kepada Pengadilan. Hal mengajukan gugutan perceraian kepada Pengadilan ini sebenarnya tidak dikenal dalam hukum adat dibeberapa lingkungan masyarakat adat. Namun demikaian, dikalangan masyarakat adat yang membolehkan terjadinya perceraian perbuatan mengajukan perceraian kepada pengadilan banyak juga terjadi.

Di kalangan masyarakat adat dimana peradilan adat (desa) atau peradilan dat kekerabatan itu masih berjalan, maka setiap perselisihan suami isteri harus dicarikan jalan penyelaian oleh kerabat agar mereka dapat rukun dan damai. Kecuali apabila kerabat sudah tidak dapat lagi menyelasaikan perselisihan itu secara damai, barulah ditersuskan pada pengadilan resmi.[15]  tata cara perceraian pada pengadilan resmi ini lebih lanjut dijelaskan oleh Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perkawinan Indonesia sebagai berikut:

Tata cara perceraian di Pengadilan Negeri:

ü  Gugatan cerai diajukan oleh penggugat atau kuasanya di pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat, kecuali tergugat tidak diketahui tempat kediaman atau tergugat di luar negeri sehingga gugatan harus diajukan di pengadilan tempat kediaman penggugat;

ü  Pemeriksaan gugatan oleh Hakim

ü  Perceraian diputus oleh Hakim;

ü  Putusan perceraian didaftarkan kepada Pegawai Pencatat.

 Tata cara perceraian di Pengadilan Agama :

Dalam hal suami sebagai pemohon (Cerai Talak):

Ø  Seorang suami yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak di Pengadilan tempat kediaman termohon (istri). Kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon;

Ø  Dalam hal termohon bertempat tinggal di luar negeri, permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon;

Ø   Dalam hal pemohon dan termohon bertempat tinggal di luar negeri, maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat;

 Dalam hal istri sebagai penggugat (Cerai Gugat) :

Ø  Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat (istri), kecuali apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat (suami);

Ø  Dalam hal penggugat bertempat tinggal di luar negeri maka gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat;

Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat tinggal di luar negeri maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Perkawinan Adat

PERKAWINAN

I. Pengertian Perkawinan

a.       Menurut Hukum Adat

Perkawinan Adat :Ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian upacara adat.

Menurut Barend Ter Haar, (1991:159) sebagaimana dikutip oleh Tolib Setiady disebutkan : “Perkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum yang menyebabkan terus berlangsungnya golongan dengan tertibnya dan merupakan suatu syarat yang menyebabkan terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongan itu tersebut”.

Hilman Hadikusumamenyebutkan : Hukum Adat Perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.

b.      Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974

Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974, yakni perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai seorang suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

II. Sistem Perkawinan

Menurut paham ilmu bangsa-bangsa (ethnologi) dilihat dari keharusan dan larangan mencari calon istri bagi setiap pria maka perkawinan itu dapat berlaku menggunakan sistem endogami dan sistem eksogami yang kebanyakan dianut oleh masyarakat adat bertali darah dan atau dengan sistem Eleuthrogami sebagaimana yang banyak berlaku dimasyarakat adat terutama yang banyak dipengaruhi hukum islam.

Di masyarakat adat ada suatu sistem perkawinan dimana setiap sistem itu mempengaruhi status anak, waris, kedudukan anak didalam masyarakat adat itu sendiri, adapun penjelasan sistem perkawinannya sebagai berikut :

a.       Sistem Endogami  ialah suatu perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang kawin harus dengan keluarga/marganya sendiri. Salah satu yang menerapkan sistem ini di daerah Toraja.

b.      Sistem Eksogami ialah suatu sistem perkawinan yang hanaya memperbolehkan seseorang nikah harus diluar dari keluarganya sendiri/marganya. Istilah eksogami ini mempunyai pengertian yang sangat nisbi (relatif). Pengertian diluar batas lingkungan bisa diartikan luas namun bisa pula sangat sempit.  Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat kalau orang dilarang kawin dengan saudara-saudara kandungnya, maka kita sebut "eksogami keluarga batih". Kalau orang dilarang kawin dengan semua orang yang mempunyai marga "marga" yang sama, disebut "eksogami marga". Kalau orang dilarang kawin dengan orang yang berasal dari "nagari" yang sama, kita sebut dengan "eksogami nagari daerah yang menerapkan sistem ini diantaranya adalah daerah gayo. Alas, Tapanuli, Minang Kabau, Sumatera Selatan, Buru, dan Seram.

c.       Sistem Eleuthrogami didalam sistem ini seorang pria tidak diharuskan atau dilarang untuk mencari isteri diluar atau didalam lingkungan kerabat atau suku melainkan dalam batas-batas hubungan keturunan yang dekat biasa disebut “nasab” atau periparan “musyarahah” sebagaimana yang ditentukan dalam islam atau dalam perundang-undangan yang berlaku.

III.         Asas-Asas Perkawinan.

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-isteri untuk maksud mendapatkan keturunandan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.

Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari perkawinan itu didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu atau garis orang tua. Adanya silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah merupakan barometer dari asal-usul keturunan seseorang yang baik dan teratur. Selanjutnya sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang dianut oleh UU No. 1/1974, maka azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:

1.      Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.

2.      Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.

3.      Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.

4.      Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.

5.      Perkawinan boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.

6.      Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan. Perceraian antara suami dan isteri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.

7.      Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga.

Sedangkan asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut:

1.    Asas Kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus ada kata sepakat antara calon suami dan isteri.

2.    Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya, seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh memiliki satu suami.

3.    Tapi ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5.

4.    Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah.

5.    Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974).

6.    Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri.

7.    Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan tersebut.

8.    Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.

Dengan telah berlakunya UU No.1 tahun 1974 diharapkan agar masyarakat adat akan dapat menyesuaikan hukum adatnya dengan undang-undang tersebut. tetapi sejauh mana masyarakat adat itu sendiri, dan kesadaran hukumnya. Oleh karena itu apa yang terjadi jiwa dari perundang-undangan belum tentu sesuai dengan alam fikiran masyarakat.

IV.    Perkawinan Anak

Perkawinan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan yang belum baligh atau belum dewasa diperbolehkan menurut hukum adat. Kecuali dibeberapa daerah seperti Kerinci, suku Toraja, dan di Roti. Khususnya di Pulau Bali perkawinan gadis yang belum dewasa  merupakan suatu yang dijatuhi hukuman. Selain itu, adat tidak melarang adanya perkawinan anak.

Tetapi meskipun kebanyakan daerah perkawinan anak itu diperbolehkan didalam kenyataan, biasanya tidak akan terjadi, bahwa para orang tua atau para wali dari anak-anak itu akan memberi izin mereka kawin sebelum mereka masing-masing mencapai umur yang pantas, yaitu 15 atau 16 tahun  bagi perempuan dan umur 18 atau 19 tahun bagi laki-laki.

Apabila terjadi seorang anak perempuan yang umurnya belum 15 tahun  dikawinkan dengan laki-laki yang belum mencapai usia 18 tahun atau lebih, maka biasanya setelah nikah, hidup mereka bersama sebagai dua mempelai suami istri ditangguhkan sampai nanti mereka sudah mencapai umur yang pantas. Perkawian seperti ini disebut “kawin gantung”, di Jawa disebut “gantung nikah”. Biasanya kemudian, setelah mempelai berdua telah mencapai umur yang pantas, artinya hidup bersama sebagai suami istri sudah mungkin, perkawinan  ini disusuli dengan perkawinan adat.

Biasanya alasan untuk segera merealisasikan hubungan kekeluargaan antara kerabat mempelai pria dan wanita yang telah mereka inginkan bersama.

Alasan inilah yang terkadang menyebabkan adanya anak yang masih dalam kandungan telah dijadikan untuk kelak dikawinkan dengan anak keluarga yang lain, hanya karena terdorong oleh keinginan adanya ikatan kekeluargaan dengan keluarga itu saja. Selain itu keinginan itu timbul karena ikatan itu dianggap membawa keuntungan bagi kedua belah pihak.

Lazimnya, pada “kawin gantung” ini ada kebiasaan mempelai laki-laki setelah menikah bertempat tinggal di rumah mertuanya serta menjadi bantuan tenaga kerja bagi mertuanya. Maka hal ini pun kadang juga menjadi alasan dilakukanya kawin gantung. Dan baru bisa berkumpul layaknya suami istri setelah sama-sama dewasa.

Didaerah Rejang, seperti dikemukakan oleh Prof. Dr. Hazairin dalam bukunya “Rejang” terdapat pula semacam perkawinan dimana kemantin pria dan wanitanya tidak bisa langsung berkumpul layaknya suami istri (jadi merupakan nikah gantung juga).

Tetapi alasan mereka tidak bisa langsung hidup seperti suami istri bukan hanya karena salah satu atau keduanya belum dewasa saja, tetapi karena upacara secara adat belum selengkapnya diselenggarakan. Setelah upacara nikah, menurut adat masih wajib menyelenggarakan  “pesta bimbang” dan sebelum ada pesta bimbang ini, maka mempelai belum bisa hidup sebagai suami istri. Jadi kalau belum melakukan pesta bimbang dan mempelai sudah berkumpul sebagai suami istri, menurut masyarakat adat mereka dianggap melakukan zinah menurut adat.

Dari aspek agama, ditinjau dari kaca mata agama islam bahwa islam tidak menghalangi adanya perkawinan anak. Tetapi agama Kristen menetapkan bahwa perkawinan hanya mungkin bila pihak kemantinnya  sudah dewasa, begitu juga pasal 4 dalam “christen inlanders regeling“  untuk Jawa, Ambon, Minahasa Staatsblad1933 no. 74.

Alat Bukti Yang Sah Dalam Pembuktian Hukum Acara Pidana

Pengertian Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 11). +Ade Sanjaya

Definisi Alat-alat bukti yang sah, adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Darwan Prinst,1998:135).

Adapun alat-alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, adalah sebagai berikut:

1).  Keterangan saksi
Menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

2).  Keterangan ahli
Menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

3).  Surat
Menurut Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

- surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.

- surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya; 

- surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

4).    Petunjuk
Menurut Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

5).    Keterangan terdakwa
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.

a.    Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan Terdakwa.

1).    Keterangan terdakwa:
Pasal 184 huruf e dan Pasal 189 KUHAP.

2).    Pemeriksaan terdakwa
Pasal 175 sampai Pasal 178 KUHAP.

Putusan Final dalam Pengadilan Pidana

Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan sangat tergantung dari hasil musyawarah Majelis Hakim yang berpangkal dari Surat Dakwaan dengan segala sesuatu pembuktian yang berhasil dikemukakan di depan Pengadilan.

Untuk itu, ada beberapa jenis putusan Final yang dapat dijatuhkan oleh Pengadilan diantaranya:

Putusan Bebas, dalam hal ini berarti Terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum. Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP putusan bebas terjadi bila Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang Pengadilan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak terbukti adanya unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Terdakwa

Putusan Lepas, dalam hal ini berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, namun perbuatan tersebut, dalam pandangan hakim, bukan merupakan suatu tindak pidana.

Putusan Pemidanaan, dalam hal ini berarti Terdakwa secara sah dan meyakinkan telah terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, oleh karena itu Terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman pasal pidana yang didakwakan kepada Terdakwa.

Macam-macam saksi

PK - Pengaturan mengenai saksi diatur dalam ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP:

 “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.


Terus dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP menjelaskan::

 “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya itu”.


Pengertian saksi menurut Undang-undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ada pengertian saksi pasal 1 ayat (1) yaitu :

 saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri

Macam macam saksi :

1. Saksi A de charge
Saksi yang meringankan atau A de Charge merupakan saksi yang diajukan oleh terdakwa dalam rangka melakukan pembelaan atas dakwaan yang ditujukan pada dirinya. Hal ini dilandasi oleh ketentuan Pasal 65 KUHAP yakni:
“Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya”.
Selain itu, dasar hukum saksi a de charge juga diatur dalam Pasal 116 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:
“Dalam pemeriksaan tersangka ditanya apakah ia menghendaki saksi yang dapat menguntungkan baginya dan bilamana ada maka hal itu dicatat dalam berita acara.”

2. Saksi A Charge
Saksi yang memberatkan atau a charge adalah saksi yang keterangannya memberatkan terdakwa. Jenis saksi ini biasanya diajukan oleh penuntut umum. Saksi korban juga termasuk dalam kategori saksi yang memberatkan.

Hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 160 ayat (1) KUHAP:
a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-  baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum;
b. Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi;
c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum  dalam surat pelimpahan perkara dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selamã berIangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusán, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.

3. Saksi Fakta
Saksi yang mengetahui atau melihat langsung sebuah kejadian

4. Saksi Ahli
Yakni saksi yang menguasai keahlian tertentu menurut pasal 56 KUHAP:
Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi atau seseorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya

Selain itu dikenal juga istilah saksi diluar KUHAP yakni :
Saksi mahkota yakni
Saksi mahkota adalah istilah untuk tersangka/terdakwa yang dijadikan saksi untuk tersangka / terdakwa lain yang bersama-sama melakukan suatu perbuatan pidana.

Hal ini dijelaskan dalam istilah ini yang tertuang pada memori kasasi yang diajukan oleh kejaksaan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2437 K/Pid.Sus/2011 yang menyebutkan bahwa:

“Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan"

FUNGSI HUKUM PIDANA.

Sebagai hukum publik, hukum pidana memiliki fungsi sebagai   berikut :

1. Fungsi melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang atau memperkosanya.

Kepentingan hukum (rechtersebutelang) adalah segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun anggota suatu negara, yang wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak dilanggar/diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia. Semua ini ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban di dalam segala bidang kehidupan.

Di dalam doktrin hukum pidana Jerman, kepentingan hukum itu meliputi

1.  Hak-hak (rechten)

2.  Hubungan hukum (rechtersebutetrekking)

3. Keadaan hukum (rechtstoestand)

4. Bangunan masyarakat (sociale instellingen)

Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada tiga macam yaitu :

A. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen) misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa susila,

B. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschapppelijke belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas di jalan raya,

C. Kepentingan hukum negara (staatersebutelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya,

Ketiga kepentingan hukum diatas saling berkait dan tidak bisa dipisahkan. Contoh :

kepetingan hukum yang diatur dalam hukum pidana materil (KUHP) larangan mencuri (pasal 362 KUHP), larangan menghilangkan nyawa (pasal 338 KUHP). Pasal 363 KUHP melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum orang atas hak milik kebendaan pribadi dan pasal 338 KUHP adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum terhadap hak individu/nyawa orang. Untuk melindung kepentingan hukum diatas adalah melalui sanksi pidana/straf (hukuman penjara). Misalnya pasal 362 KUHP dapat diancam hukuman penjara maksimum 5  tahun dan pasal 338 KUHP dapat diancam hukuman penjara maksimum 15 tahun,

2.      Fungsi Memberi dasar legitimasi bagi negara

Fungsi hukum pidana yang dimaksud disini adalah tiada lain memberi dasar legitimasi bagi negara agar negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana tadi dengan sebaik-baiknya. Fungsi ini terutama terdapat dalam hukum acara pidana, yang telah dikodifikasikan dengan apa yang disebut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yakni UU No. 8 tahun 1981. Dalam hukum acara pidana telah diatur sedemikian rupa tentang apa yang dapat dilakukan negara dan bagaimana cara negara mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana. Misalnya bagaimana cara negara melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap terjadinya tindak pidana seperti melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan, pemeriksaan, vonis, dll. Semua tindakan negara diatas tentu berakibat tidak menyenangkan bagi siapa saja. Namun atas dasar kepentingan hukum dan negara tindakan negara tersebut dibenarkan, melalui prosedur KUHAP diatas.

3. Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara.

  Sebagaimana diketahui bahwa fungsi hukum pidana yang kedua diatas adalah hukum pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada negara agar dapat menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan sebaik-baiknya. Namun demikian atas kekuasaan negara diatas harus dibatasi. Walaupun pada dasarnya adanya hukum pidana untuk melindungi kepentingan hukum yang dlindungi. Namun tentunya pembatasan kekuasaan itu penting agar negara tidak melakukan sewenang-wenang kepada masyarakat dan pribadi manusia. Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan fungsinya mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi yang secara umum dapat disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu, menjadi wajib. Adanya KUHP dan KUHAP sebagai hukum pidana materi dan formil dalam rangka mempertahankan kepentingan hukum masyarakat yang dilindungi pada sisi sebagai alat untuk melakukan tindakan hukum oleh negara apabila terjadi pelanggaran hukum pidana, pada sisi lain sebagai alat pembatasan negara dalam setiap melakukan tindakan hukum. Misalnya jika seseorang membunuh (pasal 338 KUHP) negara tidak boleh menghukum melebihi ancaman maksimum 15 tahun. Begitu juga ketika negara menahan seseorang ada batas masa penahanan misalnya penyidik hanya selama 20 hari. Jika ketentuan diatas dilanggar oleh negara maka akan terjadi kesewenangan. Dengan demikian masyarakat sendiri dirugikan. Jika akibat suatu tindakan negara justru merugikan masyarakat, maka tujuan dan fungsi hukum pidana tersebut tidak tercapai. Tujuan hukum untuk kebenaran dan keadilan hanya semboyan saja.

Saturday, October 5, 2019

Hukum Adat

Pengertian
Dalam kamus hukum, kata wali dapat diartikan sebagai orang yang mewakili Menurut Prof. Subekti,
perwalian berasal dari kata "wali" artinya org lain selaku pengganti org tua yg menurut hukum diwajibkan mewakili anak yg blm dewasa atau belum akil balig dlm melakukan perbuatan hukum kata.

Wali adalah org atau badan yg dalam
kenyataanya menjalankan kukuasaan
asuh sbg orang tua terhadp anak (Ps. 1 poin 5 UU No. 23/2002, ttg Perlindungan Anak.

Syarat Pengangkatan
1. Wali dapat ditunjuk dgn surat wasiat oleh salah satu org tua yg menjalankan kekuasaan org tua sebelum ia meninggal.
2. Secara lisan di hadapan dua org saksi (Ps 51ayat 1).
3. Wali sedapatnya diambil dari keluarga anak ybs atau org lain yg dewasa, berpikir sehat. adil jujur dan berkelakukan baik. (Pasal 51 ayat 2UUP).

Kewajibannya
1. Mengurus anak dan harta bendanya sebaik-2nya dgn memhormati agama anak dan kepercayaanya.
2. Wajib membuat daftar harta benda anak ygberada di bawah kekuasaanya, dan mencatat semua perubahan atas harta anak itu.
3. Wali bertanggung jawab terhdp harta anak,serta kerugian yang timbul akibat kelalaian wali. (Ps.51 ayat 3, 4 dan 5) UUP.

HUB. PERTALIAN DARAH
(geneologis)
Kedudukan anak.
A. Anak sah: Adalah anak yg lahir dan perkwinan ayah dan ibu yg sah. (Ps 42 UU 1/1974)b.
B. Anak lahir diluar perkawinan
Hanya mempunyai hub perdata dgn ibu dan kel ibunya (Ps 43) Kedudukan anak tsb akan di atur dan PP
Ps: 43 ayat2)

Pengesahan anak
- Di kalangan umat Islam tdk dikenal
pengesahan anak yg lahir di luar perkawinan.
- Bagi umat Kristiani anak tsb dpt disahkan melalui perkawinan (S.193374)

Pengakuan anak dlm Perdata
- Menurut Pasal 280 dan 281. KUHPer, Pengakuan terhdp anak di luar nikah dpt
dilakukan dgn akta autentik bila belum
ada akta kelahiran atau pada waktu pelaksanaan perkawinan.
Dapat juga dilakukan dgn akta yg dibuat oleh pegawai catatan sipil dan didaftarkan dlm daftar kelahiran.

Asas Peradilan

- Kekuasaan kehakiman: kekuasaan negara ygmerdeka utk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hk dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hk RI (Ps 1 Butir 1 UU Kek Kehakiman no 48 Th 09).

- Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA (Ps 2 ayat (1).

- Peradilan dilakukan dgn sederhana, cepat, dan biayaringan (Ps 2 ayat (4).

- Segala campur tangan dim urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dlm hal-hal sebagaimana disebut dlm UUD 1945 Ps 3 (2).

Kompetensi Absolut dan Kompetensi Relatif

Yang dimaksud dengan kompetensi mengadili yang relatif dan absolut dalam Hukum Acara Pidana, perbedaannya, serta contohnya, yaitu:

- Kompetensi relatif adalah berbicara mengenai Pengadilan Negeri yang mana berwenang untuk mengadili suatu perkara.
Contoh : Suatu tindak pidana yang terjadi di Cimahi maka yang berwenang untuk mengadili adalah Pengadilan Negeri Bale Bandung.

- Kompetensi absolute adalah berbicara mengenai Badan Peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili suatu perkara. Apakah Pengadilan Negeri, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara, dsb.
Contoh : Suatu tindak pidana yang dilakukan oleh seorang anggota ABRI maka pengadilan yang berwenang untuk mengadili adalah Pengadilan Militer.

Tahap-tahap Hukum Acara Pidana

1. Tahap Penyidikan (Penyelidikan, dan Penyidikan)

2. Penuntutan.

3. Pemeriksaan Sidang Pengadilan.

4. Pelaksanaan Putusan Hakim.

Apakah Penyelidikan itu ?
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik, untuk mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menemukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. ( KUHAP Pasal 1 butir 5). Diatur: Pasal 5, 9, 75, 192-105, 111 KUHAP.

Siapa Penyelidik itu?
Setiap angota polisi sebagai penyelidik (paling rendah Ajun Inspektur Polisi Dua (Aipda)). Juga dapat dilakukan oleh Pejabat tertentu untuk melakukan penyelidikan perkara tertentu, misal:

1. PPATK ( Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan -> dilakukan adanya dugaan transaksi keuangan yang mencurigakan (TP Pencucian Uang).

2. Anggota Komnas HAM dalam pelaporan adanya orang hilang.

3. KPK untuk kasus TPK

Apa saja obyek penyelidikan itu?

1. Orang

2. Benda/barang

3. Tempat (termasuk Rumah dan tempat-tempat tertutup lainnya)

Caranya:

1. Terbuka: sepanjang hal itu dapat menghasilkan keterangan-keterangan diperlukan

2. Tertutup: apabila kesulitan untuk mendapatkannya.

Syarat Penyelidikan cara tertutup?

1. Petugas yg melakukannya dlm upaya dan usahanya hrs menghindarkan tindakan-tindakan yg bertentangan dng ketentuan-ketentuan hk dan peraturan perundang-undangan yg berlaku.

2. Petugas yg melakukannya hrs mampu menguasai teknik-teknik yg diperlukan berupa, al: interview, observasi,surveillance, undercover.

Tata Cara Penyelidikan?

1. Menunjukkan tanda pengenal.

2. Mengetahui, menerima laporan atau pengaduan terjadinya peristiwa yang patut diduga sbg TP sgra melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

3. Terhadap tindakan tsb penyidik wajib membuat berita acara dan melaporkan kpd penyidik sedaerah hukum (KUHAP Pasal 102 ayat (1), (2), (3)).

4. Dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik.

Bentuk Pengajuan laporan atau pengaduan?

1. Tertulis - harus ditandatangani pelapor atau pengadu.

2. Lisan - dicatat oleh penyidik dan ditandatangani pelapor, pengadu atau penyidik. Jika pelapor tidak bisa menulis harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut (KUHAP pasal 103 ayat (1), (2), (3).

Sejak kapan status penyelidikan berubah menjadi penyidikan?
Apabila hasil penyelidikan yang dilakukan polisi ditemukan bukti/petunjuk yang kuat telah terjadi perbuatan pidana/tindak pidana.

Apakah yang dimaksud Penyidikan?
Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tp yang terjadi guna menemukan tersangkanya (KUHAP Pasal 1 butir 2)

Bagaimana Tata cara Penyidikan?
Diatur : KUHAP pasal 106-136.

1. Dilakukan segera setelah laporan atau pengaduan adanya tindak pidana. (Pasal 106).

2. Penyidikan oleh PPNS diberi petunjuk oleh Penyidik Polri

Tindakan apa saja yang dilakukan penyidik dalam penyidikan?

1. Penangkapan

2. Penahanan.

3. Penggeledahan.

4. Penyitaan

5. Pemeriksaan surat.

Apakah Penangkapan itu?
(KUHAP Buku V Bagian Kesatu Ps. 16-19) Untuk penangkapan biasa harus dengan surat perintah penangkapan. Yang berwenang mengeluarkan surat perintah Penangkapan (berisi: identitas T, alasan penangkapan, uaraian singkat TP yang dipersangkakan dan tempat T diperiksa) - Komandan atau pejabat yang ditunjuk selaku penyidik atau penyidik pembantu.

Dasar pertimbangan dilakukannya penangkapan dan pembuatan surat perintah penangkapan?

1. Laporan polisi.

2. Pengembangan dari pemeriksaan yang dituangkan dalam Berita Acara.

3. Laporan hasil penyelidikan yang dibuat oleh petugas atas perintah penyidik/penyidik pembantu.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penangkapan, al?

1. Setelah penangkapan dilakukan, segera diadakan pemeriksaan untuk menentukan apakah perlu diadakan penahan atau tidak, mengingat jangka waktu penangkapan yang diberikan KUHAP hanya satu hari (1 X 24 jam).

2. Terhadap pelanggaran tidak dapat dilakukan penangkapan, kecuali bila telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.(Ps. 19)

3. Segera setelah dilakukan penangkapan supaya diberikan 1 lembar tembusan surat perintah penangkapan kepada tersangka dan 1 lembar kepada keluarga.(Ps. 18 (3)).

Bagaimana dalam hal tertangkap tangan?
Siapa saja berhak menangkap tanpa surat perintah dan harus segera menyerahkan Tertangkap tangan beserta barang bukti kepada penyidik atau penyidik pembantu. Wajib menangkap tersangka setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum untuk diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyidik atau penyidik pembantu.


Apakah yang dimaksud Tertangkap Tangan itu ?
Tertangkapnya seseorang pd waktu sedang melakukan TP atau dengan segera sesudah beberapa saat TP itu dilakukan atau sesaat kemudian setelah diserahkan oleh kalayak ramai bahwa ia yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda itu yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan TP itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau membantu melakukan TP itu (Ps. 1 butir 19)

Apakah Penahanan itu?
(KUHAP BaB V Bagian Kedua Ps. 20-31)
Penahanan - Penempatan Tersangka atau Terdakwa di tempat tertentu oleh Penyidik,
atau Penuntut, atau hakim dengan Penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. (Ps. 1 butir 21)

Ada 3 jenis penahanan:

1. Penahan Rumah tahanan negara.

2. Penahanan Rumah.

3. Penahanan Kota.

Syarat-syarat penahanan terhadap tersangka atau terdakwa (Ps. 21), al?

1. Adanya dugaan keras terhadap tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi TP.

2. Harus dengan surat perintah penahanan bagi tersangka atau penetapan hakim bagi terdakwa, mencantumkan: identitas tersangka atau terdakwa, alasan penahanan, uraian singkat ttg TP yang dipersangkakan atau didakwakan dan tempat penahanan.

3. Hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan TP, percobaan, pemberian bantuan dalam TP tsb dalam hal:

a. diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih

b. Ps.283 (3), 296,335 (1), 353 (1), 372, 378,379a dst

Lamanya Penahanan maximal?

1. Penyidik 20 hr, diperpanjang Penuntut Umum 40 hr.

2. Penuntut umum 20 hr., diperpanjang Ketua PN 30 hr.

3. Hakim PN 30 hr., diperpanjang Ketua PN 60 hr.

4. Hakim PT 30 hr., diperpanjang Ketua PT 60 hr.

5. Hakim MA 50 hr., diperpanjang Ketua MA 60 hr.

Apakah masa penagkapan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan?

1. Untuk penahanan rumah - 1/3 dari lamanya waktu penahanan.

2. Untuk penahanan kota - pengurangannya 1/5 dari jumlah lamanya waktu penahanan.

Apa saja Hak-hak tahanan dalam rumah tahanan negara itu?

1. Dapat mengikuti kegiatan rohani sembahyang, ceramah dll) yang diselengarakan oleh petugas Rutan atau petugas lain yang ditunjuk oleh Depag RI.

2. Diperbolehkan memakai pakaian sendiri dengan memperhatikan kepatutan, kesopanan dan tidak mengganggu keamanan.

3. Memperoleh perawatan kesehatan yg layak dan juga perlu dilakukan perawatan dan pengobatan di RS di luar Rutan setelah mendapat ijin dari instansi yang menahan atas nasihat dokter Rutan.

4.!Dapat menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum dan oarang lain atau lembaga sosial setelah mendapat ijin dari instansi yang menahan.

5. Diperbolehkan berolahraga.

6. Tidak diperkenankan wajib kerja.

Syarta-syarat permintaan perpanjangan penahanan dari masing-masing instansi

1. Permintaan tsb sebelum lewat masa penahanan yang diperkenankan.

2. Melampirkan resume.

3. Disertai alasan-alasan yang kuat.

Kapan tahanan dapat dikeluarkan dari tahanan?
Sebelum max penahanan tahanan dapat dikeluarkan dari tahanan jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. Jika lewat max penahanan - tahanan harus dikeluakan demi hukum.

Apakah Penggeledahan itu?
(KUHAP Bab IV, Bag. Ketiga Ps 32-37) Penggeledahan hanya diberikan kepada penyidik. Objek Penggeledahan: rumah, pakaian, badan.

Apa Syarat-syarat penggeledahan?

1. Ada surat ijin dari Ketua PN.

2. Disaksikan 2 saksi dari lingkungan ybs.

3. Harus disaksikan oleh Kades atau ketua lingkungan jika tersangka atau penghuni rumah menolak.

Apa Pengcualian terhadap syarat-syarat penggeledahan?
1. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, harus segera bertindak dikawatirkan barang bukti akan dipindahtangankan atau dimusnahkan atau tersangka kemungkinan akan melarikan diri, maka penyelidik dapat melakukan pengGeledahan:

2. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau yang ada di atasnya;

3. Pada setiap tempat tersangka bertempat tinggal, berdiam, atau ada;

4. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;

5. Ditempat penginapan atau tempat umum lainnya.

Dalam kedaan yang sangat perlu dan mendesak tsb, penyidik tidak diperkenankan?
1. Memeriksa atau menyita surat, buku, tulisan lain yang tidak merupakan benda berhubungan dengan tindak pidana ybs atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tsb dan Wajib melaporkan kepada Ketua PN setempat guna nemperoleh persetujuan.

2. 2 hari setelah melakukan penggeledahan rumah atau memasuki, petugas tersebut harus membuat berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah ybs.

Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:

1. Ruang di mana sedang berlangsung sidang MPR, DPR atau DPRD.

2. Tempat di mana sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan.

3. Ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.

Apakah Penyitaan itu?
(KUHAP, Bab IV, bag keempat, Ps 38-46)
Apakah yang dimaksud penyitaan itu?
Serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpanan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan Peradilan. ( Ps. 1 angka 16).

Hanya dapat dilakukan penyidik dengan surat ijin Ketua PN setempat kecuali dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat ijin terlebih dahulu, maka penyidik hanya dapat melakukan penyitaan atas benda bergerak dan segera melapor kepada Ketua PN setempat guna memperoleh persetujuannya. (Ps 38).


Apakah objek dari penyitaan itu?

1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau hasil dari tindak pidana.

2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindakan pidana atau untuk mempersiapkannya.

3. Benda yang khusus dipergunakan untuk mehalang-halangi penyidikan tindak pidana.

4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana.

5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung atau tidak langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.

Dimana benda sitaan itu akan disimpan?
Di dalam Rumah Penyimpanan Benda Siataan Negara (RUPBASAN), belum ada disimpan di Kantor Kepolisian, Kejaksaan dan PN, Gedung Bank Pemerintah dan dalam keadaan memaksa di tempat lain atau di tempat semula benda sitaan itu disita (Ps 44 ayat (1) dan Penjelasannya).

Tindakan apa yang dilakukan penyidik terhadap benda yang mudah rusak ?
Atas persetujuan tersangka/kuasanya, dapat diambil tindakan bahwa benda tsb:

1. Dijual lelang atau dapat diamankan oleh penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya, apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut.

2. Didiamkan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas ijin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya, apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan (Ps. 45 ayat (1).

Bagaimana terhadap benda sitaan yang bersifat terlarang?

1. Dilarang untuk diedarkan;

2. Dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara;

3. Dimusnahkan (Ps 45 ayat (4)).

Apakah Pemeriksaan itu?

1. Surat (Bab IV, Bag Kelima, Pasal 47-49 KUHAP)

2. Saksi (Psl. 1. butir 26, 27; Psl. 112 (1), (2) KUHAP

3. Tersangka, pemeriksaan permulaan dng sistem inqiusitoir yg lunak oleh penyidik, sedang pemeriksaan di persidangan dng sistem acusatoir oleh hakim.

4. Ahli (Psl 1 butir 28 Psl. 120 (1) KUHAP

Labkrim.

5. Identifikasi


Friday, October 4, 2019

Asas-asas Hukum Acara Pidana

1. Persamaan di muka hk ( Penjelasan Umum (PU) angka 3aKUHAP, Pasal 4 (1) UU 48/2009).

2. Perintah tertulis yang berwenang (Penjelasan Umum angka 3b, Pasal 15-19 KUHAP dan Pasal 7 UU 48/2009)

3. Praduga tidak bersalah (Presumtion of innocent) (Penjelasan Umum angka 3c KUHAP dan pasal 8 (1) UU 48/2009)

4. Pemberian ganti rugi (Penjelasan Umum angka 3d KUHAP dan Pasal 9 UU 48/2009)

5. Peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan Penjelasan Umum angka 3e KUHAP dan Pasal 2 (4) UU 48/2009).

6. Memperoleh bantuan hukum seluas-luasnya (Penjelasan Umum angka 3f, Pasal 69-74 KUHAP).

7. Asas inquisitoir dan accusatoir

8. Wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan (PU angka 3g, 155 (2) b KUHAP)

9. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa (PU angka 3h, 154, 155 KUHAP dan 12 UU 48 Tahun 2009)

10. Prinsip peradilan terbuka untuk umum (PU angka 3 huruf i, 153 (3) (4) KUHAP dan Pasal 13 UU 48 Tahun 2009)

11. Berat atau ringannya pidana, hakim mempertimbangkan dan perlu memperhatikan sifat baik dan jahat terdakwa (8 (2) UU 48 tahun 2009).


Kost-Pontianak

Terima Kost Khusus perorangan Idr 500rb/bln.  Tidak menerima pasangan/ berkeluarga.   Jalan Parit H. Husin 1, Gang. Keluarga no. 7/...